MAKALAH BANK SYARIAH



MAKALAH
BANK SYARIAH












DISUSUN OLEH     :

MARIA WINDA LESTARI                       (33868)


JURUSAN MANAJEMEN
STIE MALANGKUCECWARA
ANGKATAN 2016

BAB I
PENDAHULUAN

      1.1  LATAR BELAKANG

Bank Bagi Hasil sering disebut Bank Syariah (Bank Islam) merupakan lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan prinsipprinsip hukum atau syariah Islam, seperti diatur dalam Al Qurʹan dan Al Hadist. Perbankan Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum islam).Usaha pembentukkan sistem ini berangkat dari larangan islam untuk memungut dan meminjam bedasarkan bunga yang termasuk dalam riba dan investasi untuk usaha yang dikategorikan haram,misalnya dalam makanan,minuman,dan usaha-usaha lain yang tidak islami,yang hal tersebut tidak diatur dalam Bank Konvensional.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Adanya Perbankan syariah di Indonesia bertujuan untuk mewadahi penduduk di Negara Indonesia yang hampir seluruh penduduknya beragama Islam.Dengan adanya bank tersebut diharapkan tidak adanya kerancuan dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama islam,sehingga mereka terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah yang melayani mereka dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Namun realitas yang ada,dari 80% penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak lebih dari 10% di antara mereka yang bertransaksi secara syar’I lebih-lebih dalam hal perbankan.Sampai saat ini perbankan syariah di Indonesia belum mampu menunjukan eksistensinya,banyak masyarakat yang tidak menaruh kepercayaan terhadap perbankkan syariah.
Bahkan para ulama-ulama di negeri ini pun sebagian besar masih menyimpan uangnya di bank konvensional.Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai sisitem operasi perbankan syariah Sistem dalam bank syariah di anggap sama dengan sistem operasi yang ada dalam bank konvensional.
Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap bank syariah dan berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Hal tersebut menjadi landasan untuk menyadarkan masyarakat akan keurgenan perbankkan islam di Negara ini. Khusunya bagi mereka yang beragama islam.Upaya-upaya pensosialisaian mekanisme dan syariah di rasa perlu,sehingga masyarakat tidak lagi terjebak dalam transaksi-transaksi yang tidak islami dan masyarakat kembali manaruh kepercayaan terhadap transaksi syariah.

1.2 TUJUAN PENULISAN

1.  Untuk mengetahui prospek bank syariah
2.  Untuk mengetahui hambatan bank syariah
3. Untuk mengetahui tantangan bank syariah
4. Untuk mengetahui peluang bank syariah



BAB II
PEMBAHASAN
 

2.1  PENGERTIAN BANK SYARIAH

            Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara akademik istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan Bank Syari'ah mempunyai pengertian yang sama.
Menurut Kasmir  (2001) Bank Syariah adalah ”Bank yang yang berdasarkan prinsif syariah merupakan bank yang menerapakan aturan perjanjian berdasarkan hokum Islam  Antara Bank dengan pihak lain  baik dalam hal untuk menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan lainnnya”.  
Dalam RUU No 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa Bank Umum merupakan bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari'ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu litas pembayaran. Lebih lanjut dijelaskan bahwa prinsip syari'ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpannya, pembiayaan atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari'ah. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, Bank Syari'ah berarti bank yang tata cara operasionalnya didasari dengan tatacara Islam yang mengacu kepada ketentuan alquran dan al hadist.

2.2  PROSPEK PERBANKAN SYARIAH
Tidak bisa dibantah, bahwa perbankan syari’ah mempunyai potensi dan prospek yang sangat bagus untuk dikembangkan di Indonesia . Prospek yang baik ini setidaknya ditandai oleh lima hal :

1. Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan pasar potensial bagi pengembangan bank syari’ah di Indonseia. Sampai saat ini, pangsa pasar yang besar itu belum tergarap secara signifikan.
2. Perkembangan lembaga pendidikan Tinggi yang mengajarkan ekonomi syariah semakin pesat, baik S1, S2, S3 juga D3. Dalam lima tahun ke depan akan lahir sarjana-sarjana ekonomi Islam yang memiliki paradigma, pengetahuan dan wawasan ekonomi syariah yang
komprehensif, tidak seperti sekarang, banyak yang masih menolak ekonomi syariah karena belum memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ekonomi syariah.
3. Bahwa fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, bagaimanapun akan tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari’ah. Pasca fatwa MUI tersebut, terjadi shifting dana masyarakat dari bank konvensional ke bank syari’ah secara signifikan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Menurut data Bank Indonesia, dalam waktu satu bulan pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari’ah hampir Rp 1 trilyun. Fatwa ini semakin mendapat dukungan dari para sarjana ekonomi Islam.      
4. Harapan kita kepada sikap pemerintah cukup besar untuk berpihak pada kebenaran, keadilan dan kemakmuran rakyat. Political will pemerintah untuk mendukung pengembangan perbakan syari’ah di Indonesia tinggal menunggu waktu, lama kelamaan mereka akan sadar juga dan melihat keunggulan bank syariah. Sejumlah PEMDA di daerah telah mendukung dan bergabung membesarkan bank-bank syariah. Bank Indonesia pun diharapkan akan benar-benar mendukung bank yang menguntungkan negara dan menyelamatkan negara dari kehancuran. Bank Indonesia yang selama ini terkesan hanya mengandalkan modal dengkul dalam mengembangkan bank syariah akan berubah dengan mengandalkan modal riil yang lebih besar. Memang banyak peran Bank Indonesia dalam mendorong pertumbuhan bank syariah, khususnya dalam regulasi. Namun kegiatan sosialisasi dan pencerdasan bangsa masih relatif kecil dilaksanakan dan didukung Bank Indonesia.
5. Masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke dalam jasa usaha perbankan syari’ah di Indonesia sesungguhnya merupakan indikator bahwa usaha perbankan syari’ah di Indonesia memang prospektif dan dipercaya oleh para investor luar negeri. Potensi dana Timur Tengah sangat besar. Dana-dana yang selama ini ditempatkan di Amerika dan Eropa, pasca 11 September WTC, mulai ditarik oleh investor Arab untuk ditempatkan di Asia.
           


2.3 HAMBATAN PERBANKAN SYARIAH
Dari segi ontologi, tujuan pendirian bank-bank Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia adalah mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, khususnya memungut riba dalam pinjam-meminjam. Ini berbeda dengan tujuan pendirian bank-bank konvensional, yaitu menyediakan pinjaman dengan menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain, bank konvensional adalah lembaga perantara keuangan.
Tujuan lebih lanjut adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dan bisnis dengan memanfaatkan simpanan masyarakat yang memiliki dana surplus setelah dikurangi konsumsi.
Maka, dari segi aksiologi, bank syariah, yang semula disebut bank Islam, didirikan untuk menerapkan hukum Islam, sedangkan bank konvensional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara epistemologi, pengelolaan bank konvensional berpedoman pada manajemen perbankan. Akan tetapi, dalam bank syariah, manajemen perbankan harus mengikuti hukum-hukum syariah. Itu sebabnya bank syariah memiliki lembaga pengawasan, disebut Dewan Syariah, dibentuk oleh otoritas keagamaan, Majelis Ulama Indonesia atau di Malaysia, Dewan Agama. Mengingat motifnya bukan bisnis, pernah ada yang mengatakan, bank syariah akan sulit berkembang, tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Namun, bank syariah juga memiliki hambatan :
1.      Tidak mudah bagi bank syariah untuk mengeluarkan produk baru karena pertimbangan subhat atau meragukan hukumnya yang merupakan grey area dalam penilaian Dewan Syariah.
2.      Kedua, jika dana berlebih, hukum syariat melarang bank menyimpannya di SBI. Namun, bisa disimpan di giro wadiah BI yang bagi hasilnya lebih kecil daripada suku bunga SBI.
3.      Ketiga, bank syariah terkena pajak untuk transaksi murabahah karena dianggap sebagai produk perdagangan dan bukan hanya produk bank.
Agar bisa berkembang, bank syariah harus membuktikan keunggulanya berdasarkan manfaat, baik bagi masyarakat umum maupun dunia bisnis. Kini investor non-Muslim banyak yang tertarik untuk berinvestasi di bank syariah. Demikian pula nasabah rasional sudah melebihi 50 persen dari seluruh nasabah, jadi sudah diterima pasar.
Untuk menghadapi tuntutan tadi, Bank Syariah dituntut untuk berinovasi (ijtihad) dan berusaha (jihad) dalam mengembangkan ekonomi Syariah melalui Bank Syariah. Untuk menciptakan instrumen dan produk baru Bank Syariah dan mengembangkannya diperlukan kiat-kiat tertentu, yaitu:
1.      Meyakini bahwa investasi dan mencari keuntungan adalah kewajiban dan bagian dari ibadah sosial.
2.      Melakukan penelitian dan kajian tentang bentuk-bentuk investasi yang cocok, unggul dan punya nilai strategis untuk bangsa Indonesia, karena hanya dengan menunggu adanya usulan dan inisiatif dari masyarakat tidak akan bisa memberi kontribusi yang maksimal.
3.      Mengembangkan dan menggunakan instrumen dan produk Bank Syariah yang ada secara serius dan komprehensif tanpa memfokuskan pada salah satu instrumen tertentu dan meninggalkan yang lainnya. Hal itu akan memberikan peluang yang lebih banyak bagi para nasabah Bank Syariah dan sebagai bukti kemapanan sebuah konsep.
4.      Menciptakan instrumen dan produk baru yang inovatif, punya nilai ekonomi yang tinggi dan bersentuhan langsung dengan masyarakat, hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan strategi ” tak kenal maka tak sayang” artinya Bank Syariah perlu menciptakan instrumen dan produk yang dibutuhkan masyarakat.
5.      Memodifikasi dan memperbaharui instrumen dan produk bank yang lama dengan instrumen dan produk yang sesuai dengan perkembangan waktu, kompetitif dan unggul di pasar investasi global dan local.

2.4 TANTANGAN PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH
1. Regulasi
Dalam Harahap (2003) disebutkan bahwa Undang-undang dan peraturan yangberlaku di Bank Syariah berjalan beiringan. Namun sebenarnya regulasi dalam perbankansyariah di Indonesia masih berdasarkan sistem sekuler. Setelah pendirian Bank Syariah pertama tahun 1992, Bank Indonesia membentuk Biro perbankan Syariah yang berfungsi untuk mengatur dan mengawasi Bank Syariah, baik dari aspek perbankan maupun dari aspek syariah. Meskipun sudah ada Biro Perbankan Syariah, regulasi mengenai operasi perbankan syariah masih menggunakan aturan umum dalam perbankan konvensional, kecuali dalam beberapa hal. Permasalahan utamanya adalah pada sebuah aturan mengenai dual banking sistem. Menurut cetak biru Perbankan Syariah yang dikembangkan di Indonesia, Bank Syariah seharusnya memiliki Undang-undang Perbankan Syariah yang memisahkan dan berbeda dari Undang-Undang Bank Konvensional.
Dalam upaya mengembangkan sistem perbankan syariah yang sehat dan amanah
serta guna menjawab tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh sistem perbankan syariah Indonesia, Bank Indonesia menyusun “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai tahun 2011, sebagaimana termaktub dalam Cetak Biru tersebut, adalah (Biro Perbankan Syariah BI, 2002):
1. Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan;
2. Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah;
3. Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien; serta
4. Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Beberapa sasaran diatas menjadi tantangan bagi praktisi, regulator maupun masyarakat umum untuk terus berupaya saling bekerjasama dalam usaha peningkatan Perbankan Syariah di Indonesia.

2. Diversifikasi Produk
Dalam berhubungan dengan nasabah pembiayaan, produk dibagi menurut tingkat kepercayaan yang telah terjalin diantara keduanya. Untuk nasabah yang baru, biasanya tidak langsung diberikan pembiayaan dengan kepercayaan penuh, seperti Mudharabah atau Musyarakah. Tetapi diberikan produk jual beli, seperti Murabahah, Salam dan Istisna. Karena dalam produk ini bank dapat menerapkan semua prinsip perbankan murni, seperti hutang, kewajiban cicilan, jangka waktu, tingkat harga, jaminan tambahan dan sebagainya. Ketika melalui produk pembiayaan ini kepercayaan nasabah sudah dapat dilihat, bank  kemudian menawarkan produk yang lebih beresiko, seperti Mudharabah. Pada produk ini bank tidak dapat lagi membebankan resiko pada nasabah, karena sepenuhnya ditanggung
oleh bank.
Kredibilitas, integritas dan akuntibilitas nasabah sebagai mudharib menjadi faktor penentu. Dan jika dengan produk ini nasabah bisa dipercaya, maka produk yang tertinggi tingkat resikonya, yaitu Qardh (pinjaman tanpa bagi hasil) dapat diberikan. Pada tingkat ini nasabah telah mencapai taraf prima (prime customer) karena tanpa jaminan dan tanpa kewajiban memberikan tambahan, bank dapat memberikan pinjaman. Biasanya diberikan
untuk kebutuhan mendesak, berjangka waktu relatif pendek, tidak bisa dilayani oleh produk lain dan kemungkinan besar tidak akan macet. Permasalahan terhadap pengkategorian produk seperti ini adalah bahwa fasilitas mudharabah hanya diberikan kepada nasabah yang besar-besar saja, karena hanya mereka saja yang mampu melewati unsur-unsur perbankan teknis pada tahap sebelumnya, seperti jaminan tambahan. Meskipun ini tidak melanggar syariah, karena menyangkut pilihan kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa perbankan syariah akan melestarikan status quo ekses perbankan konvensional, yaitu hanya strata masyarakat atas saja yang dapat menikmati fasilitas perbankan.
Tuntutan masyarakat agar ada bank syariah di daerahnya juga menjadi sumber
diversifikasi produk. Daerah seperti Sumatera dan Kalimantan yang lebih mengedepankan
budi daya kehutanan dan perkebunan menuntut produk pembiayaan dengan jangka waktu
lebih panjang karena tidak mungkin mereka dapat mengembalikan dana pembiayaan
dalam jangka waktu satu-dua tahun, padahal hasil perkebunan baru dapat dinikmati setelah
5 tahun (Hakim, 2008). Ini berarti bahwa produk syariah harus diarahkan ke arah produk investasi yang bisa dikembangkan menjadi instrumen pasar uang antar bank syariah, dengan tujuan diantaranya menjaga likuiditas. Sedangkan di daerah perkotaan, orang lebih
suka dengan jangka pendek, misalnya 2 tahun. Dengan demikian kategori pengembangan produk harus ditambah dengan investasi dan retail. Dalam Arifin (2003) disebutkan bahwa
sepanjang praktik Perbankan Konvensional tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam maka Bank Syariah dapat mengadopsi sistem dan prosedur perbankan yang ada.

3. Penentuan Harga (Pricing)
Masalah yang jadi bahan perdebatan adalah berapa tingkat keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah sebagai penghasilan bank. Dalam Hakim (2008) untuk produk jual beli seperti Murabahah, Istisna dan Salam, bank dapat menentukan tingkat keuntungan seperti halnya dalam perbankan konvensional, misalnya 12 persen. Lebih lanjut Hakim (2008) tingkat keuntungan ini lalu ditambahkan kepada harga beli dan menjadi harga jual kepada nasabah. Tapi persoalannya tidak selesai sampai disitu. Perdebatan terjadi setelah
timbul pertanyaan apakah tingkat keuntungan itu lumpsum atau per annum.
Menurut Hakim (2008) dalam syariah harga jual tidak boleh dua kali dalam satu akad. Artinya jika bank dan nasabah menyepakati tingkat keuntungan 12 persen per annum dari harga beli sebesar Rp. 100 juta dan dalam jangka waktu dua tahun, berarti ada dua harga dalam satu akad pembiayaan. Jika nasabah sudah mencicil hutangnya sampai 20 bulan lalu menunggak, dan baru bisa melunasi sesudah 2 tahun setengah, maka harga jualnya tidak lagi sebesar harga beli ditambah 24 persen, tetapi harga beli ditambah 30 persen. Itu sebabnya mengapa bank syariah mendapat kritik tajam dari sebagian masyarakat, karena penentuan harga seperti ini tidak berbeda dengan penentuan tingkat bunga dalam bank konvensional.

4. Sumber Daya Manusia
Keluarnya fatwa haram suku bunga bank pada tahun 2003, menggerakkan sejumlah bank konvensional untuk membuka windows syariah. Seperti yang disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas), pihak managemen bank konvensional bersikap pragmatis. Jika tuntutan publik secara luas menghendaki sistem syariah, pihak bank akan berusaha menyesuaikan kebutuhan itu sebagai sebuah tuntutan pasar yang memang harus diikuti. Persoalannya hanya teknis dan itu bisa dipelajari dan diaplikasikan.
Dengan sikap pragmatis seperti ini, maka banyak bankir konvensional yang di training kilat untuk menjalankan sistem syariah. Padahal untuk menjadi bankir di perbankan syariah, idealnya, tidak hanya menguasai hal teknis namun juga mampu memasukkan ruh islam dalam perilaku sehari-hari, baik sebagai bankir maupun sebagai individu di masyarakat. Hasilnya masih banyak Sumber Daya Insani yang merupakan produk instan guna menjawab permintaan pasar. Namun disatu sisi perbankan Indonesia masih minim Sumber Daya Insani yang bukan hanya berjilbab saat memberikan pelayanan, namun juga berjilbab hati dan jiwanya, bukan hanya SDI yang mampu mempraktikkan teknik-teknik pembiayaan perbankan syariah namun juga paham mengenai dasar-dasar penetapan akad dan hakikat penerapan akad yang sesuai dengan syariah. Masih minimnya Sumber Daya Manusia yang berkualitas ini menjadi sebuah tantangan bagi pihak perbankan. Untuk menjawab tantangan ini semua stakeholeder diharapkan mampu bekerjasama sehingga kebutuhan dunia Perbankan Syariah terhadap SDM dapat terpenuhi baik dari sisi kulitas maupun kuantitasnya. Di kalangan perbankan syariah, bahkan di negara berkembang pada umumnya penelitian dan pengembangan (research and development) belum mendapat prioritas tinggi. Bank-bank syariah lebih banyak mengadakan seminar dan konferensi untuk membahas isu (Omar dan Ghazali, 1992).

2.4 PELUANG PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH
Ada beberapa langkah yang diperlukan dalam rangka membangun Bank Syariah yang berdasarkan ajaran Islam, yaitu:
1.      Meningkatkan sosialisasi mengenai Bank Syariah dan komunikasi antar Bank Syariah dan lembaga-lembaga keuangan Islam. Bahwa ekonomi Islam (Bank Syariah) bukanlah semata-mata menyangkut aspek ibadah ritual saja, tetapi juga menyentuh dimensi-dimensi yang bersifat muamalah (sosial kemasyarakatan). Ekonomi Islam (Bank Syariah)pun bukan semata-mata bersifat eksklusif bagi umat Islam saja, tetapi juga bermanfaat bagi kalangan umat beragama lainnya. Sebagai contoh, 60 % nasabah Bank Islam di Singapura adalah umat non muslim. Kalangan perbankan di Eropa pun sudah melirik potensi perbankan Syariah. BNP Paribas SA, bank terbesar di Perancis telah membuka layanan Syariahnya, yang diikuti oleh UBS group, sebuah kelompok perbankan terbesar di Eropa yang berbasis di Swiss, telah mendirikan anak perusahaan yang diberi nama Noriba Bank yang juga beroperasi penuh dengan sistem Syariah. Demikian halnya dengan HSBC dan Chase Manhattan Bank yang juga membuka window Syariah. Bahkan kini di Inggris, tengah dikembangkan konsep pembiayaan real estate dengan skema Syariah. Ini semua membuktikan bahwa konsep ekonomi Islam berlaku secara universal.
2.      Mengembangkan dan menyempurnakan institusi-institusi keuangan Syariah (Bank Syariah) yang sudah ada. Jangan sampai transaksi-transaksi yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Karena itu dibutuhkan adanya pengawasan yang ketat terhadap aktivitas institusi ekonomi Islam (Bank Syariah) yang ada, baik itu perbankan Syariah, asuransi Syariah, lembaga zakat, maupun yang lainnya. Disini, dituntut optimalisasi peran Dewan Syariah Nasional MUI sebagai institusi yang memberikan keputusan/ fatwa apakah transaksi-transaksi ekonomi yang dilakukan oleh Bank Syariah telah sesuai dengan Syariah atau belum? Begitu pula dengan masyarakat luas, dimana dituntut pula untuk secara aktif mengawasi, mengontrol, dan memberikan masukan yang bersifat konstruktif bagi perbaikan dan penyempurnaan kinerja lembaga-lembaga ekonomi Syariah.
3.      Berusaha memperbaiki dan mengoreksi berbagai regulasi yang ada secara berkesinambungan. Perangkat perundang-undangan dan peraturan lainnya perlu terus diperbaiki dan disempurnakan. Kita bersyukur telah memiliki beberapa perangkat perundang-undangan yang menjadi landasan pengembangan ekonomi Syariah, seperti UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang membolehkan shariah windows, maupun UU No. 17 tahun 2000, dimana zakat merupakan pengurang pajak. Namun ini belumlah cukup, apalagi mengingat Peraturan Pemerintah yang menjabarkan undang-undang tersebut belumlah ada, sehingga peraturan seperti zakat adalah sebagai pengurang pajak masih belum terealisasikan pada tataran operasional.
Hal itu bisa dilakukan dengan melobi pemerintah agar memberikan peran yang sigifikan bagi Bank Syariah untuk mengoperasikan sistemnya, baik itu dengan membentuk deputi khusus untuk Bank Syariah di BI dan membuat undang-undang khusus yang mendukung pertumbuhan Bank Syariah (seperti tidak adanya pembatasan operasional, penghapusan pajak ganda untuk PPN dan lainnya)
  Melakukan kerja sama dengan Bank-Bank Syariah lainnya dan lembaga keuangan Islam, dalam dan luar negeri untuk melakukan koordinasi dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi Syariah.
  Meningkatkan pelayanan produk-produk Bank Syariah yang selama ini dianggap lamban dan kaku.
  Meningkatkan kualitas SDM yang memiliki kualifikasi dan wawasan ekonomi Syariah yang memadai.
















BAB III
PENUTUP

3.1.  Kesimpulam

Melihat problematika yang ada dalam pengembangan perbankan syariah, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan produk dalam bank syariah seringkali terjebak diantara kedua aturan yang saling tarik menarik, yaitu syariah dan hukum positif. Perlu ada upaya bersama untuk mencari jalan keluar, misalnya menyusun undang-undang bank syariah tersendiri. Hal ini amat penting agar bank syariah dapat menunjukkan ciri khas produknya dari yang dimiliki bank konvensional
2. Pengembangan produk dalam perbankan syariah dapat mengikuti arah perbankan konvensional, tetapi asas-asas produk syariah tidak boleh ditinggalkan. Semua produk syariah dapat diterapkan untuk semua jenis kategori, tetapi harus mengikuti konsekwensinya.
3. Perlu adanya usaha terus menerus mengembangkan teknis keuangan untuk memberikan alternatif bagi perbankan syariah terhadap produk keuangan di perbankan konvensional. Rujukan (benchmark) keuangan merupakan contoh yang
paling jelas dalam hal ini.
4. Pengembangan produk bukan saja melibatkan sumber daya yang ada dalam penelitian dan pengembangan, tetapi juga sumber daya yang mengerti dan mendalami syariah, karena sumber daya manusia yang ada di bank syariah sekarang ini belum memiliki pengetahuan di kedua bidang itu secara simultan. Untuk itu perlu dikembangkan sejak dini penggabungan pendidikan ilmu duniawi dan ilmu agama dan ini harus dilanjutkan ke tingkat berikutnya bahkan sampai tingkat perguruan tinggi, sehingga dikotomi pengetahuan agama dan pengetahuan dunia lama-kelamaan akan menipis. Ini bukan tugas perbankan syariah semata, tapi tugas umat Islam secara nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. 2003. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Alvabet: Jakarta
Bank Indonesia. 2007. Statistik Perbankan Syariah dalam. www.bi.go.id
Hakim, Cecep Maskanul. 2008. Problem Pengembangan Produk Dalam Bank Syariah.

Komentar

Postingan Populer